“Selamat berpisah. Kulihat ada bulan di atas kepala. Kukira dia akan jatuh di dalam mimpiku, tapi ia menolak. Lebih indah begini, katanya. Jadi baiklah, begitu saja. Kamulah itu yang akan selalu menyapa dan bersuara, meskipun aku tak punya telinga dan rasa kembali. Kamulah itu yang akan terus hidup dan mati dalam diriku. Kamulah itu yang telah menjadi kuburanku..." (Wijaya, 2008: 267).
Wijaya, Putu. 2008. Mala. Jakarta: Kompas.
No comments:
Post a Comment